Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 Januari 2012

Review Metode DELPHI


Metode Delphi adalah modifikasi dari teknik brainwriting dan survei. Dalam metode ini, panel digunakan dalam pergerakan komunikasi melalui beberapa kuisioner yang tertuang dalam tulisan. Teknik Delphi dikembangkan pada awal tahun 1950 untuk memperoleh opini ahli. Objek dari metode ini adalah untuk memperoleh konsensus yang paling reliabel dari sebuah grup ahli. Teknik ini diterapkan di berbagai bidang, misalnya untuk teknologi peramalan, analisis kebijakan publik, inovasi pendidikan, program perencanaan dan lain – lain.
Metode Delphi dikembangkan sebagai pendekatan ke analisis permasalahan ketika sangat sedikit data tersedia atau sistem nyata sedang dipertimbangkan. Dalam metode Delphi, sekelompok ahli terpilih membentuk panel yang akan menghasilkan jawaban konsensus terhadap pertanyaan yang diajukan ke mereka. Dalam lingkungan simulasi, panel mungkin terdiri dari manager dan pengguna sistem yang sedang dimodekan dan pertanyaan adalah tentang perilaku atau kinerja sistem di bawah kondisi operasi tertentu. Metode Delphi tidak memasukkan diskusi tatap muka,oleh karena itu terhindar dari ketegangan diskusi kelompok seperti dominasi peserta paling vokal.
            Pendekatan Delphi memiliki tiga grup yang berbeda yaitu : Pembuat keputusan, staf, dan responden. Pembuat keputusan akan bertangungjawab terhadap keluaran dari kajian Delphi. Sebuah grup kerja yang terdiri dari lima sampai sembilan anggota yang tersusun atas staf dan pembuat keputusan, bertugas mengembangkan dan menganalisis semua kuisioner, evaluasi pengumpulan data dan merevisi kuisioner yang diperlukan. Grup staf dipimpin oleh kordinator yang harus memiliki pengalaman dalam desain dan mengerti metode Delphi serta mengenal problem area. Tugas staf kordinator adalah mengontrol staf dalam pengetikan. Mailing kuesioner, membagi dan proses hasil serta pernjadwalan pertemuan. Responden adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju untuk menjawab kuisioner.
Prosedur Delphi
Prosedur Delphi mempunyai ciri – ciri yaitu :
1. Mengabaikan nama, 2. Iterasi dan feedback yang terkontrol, 3. Respon kelompok secara statistik (Chang, 1993)
Jumlah dari iterasi kuesioner Delphi bisa tiga sampai lima tergantung pada derajat kesesuaian dan jumlah penambahan informasi selama berlaku. Umumnya kuesioner pertama menanyakan kepada individu untuk merespon pertanyaan dalam garis besar. Setiap subsequen kuisioner dibangun berdasarkan respon kuisioner pendahuluan. Proses akan berhenti ketika konsensus mendekati partisipan, atau ketika penggantian informasi cukup berlaku.
Prosedur metode Delphi adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan pertanyaan Delphi
Ini merupakan kunci proses Delphi. Langkah ini dimulai dengan memformulasikan garis besar pertanyaan oleh pembuatan keputusan. Jika responden tidak mengerti garis besar pertanyaan maka masukan proses adalah sia –sia. Elemen kunci dari langkah ini adalah mengembangkan pertanyaan yang dapat dimengerti oleh responden. Anggota staf harus menginterview pembuat keputusan benar – benar jelas mengenai pertanyaan yang dimaksud dan bagaimana informasi tersebut akan digunakan.
2. Memilih dan kontak dengan responden
Partisipan sebaiknya diseleksi dengan dasar ; secara personal responden mengetahui permasalahan, memiliki informasi yang tepat untuk dibagi, tranformasi untuk melengkapi Delphi dan responden merasa bahwa agregasi pendapat panel responden akan termasuk informasi yang mereka nilai dan mereka tidak mengakses dengan cara lain. Seleksi aktual dari responden umumnya menyelesaikan melalui penggunaan proses nominasi.
3. Memilih ukuran contoh
Ukuran panel responden bervariasi dengan kelompok yang homogen dengan 10 – 15 partisipan mungkin cukup. Akan tetapi dalam sebuah kasus dimana refrence yang bevariasi diperlukan maka dibutuhkan partisipan yang lebih besar.
4. Mengembangkan kuisioner dan test 1
Kuisioner pertama dalam Delphi mengikuti partisipan untuk menulis respon pada garis besar masalah. Sampul surat termasuk tujuan, guna dari hasil, perintah dan batas akhir respon.
5. Analisa kuisioner 1
Analisa kuisioner harus dihasilkan dalam ringkasan yang bersisi bagian – bagian yang diidentifikasi dan komentar dibuat dengan jelas dan dapat dimengerti responden terhadap kuisioner 2. Anggota grup kerja mendokumentasikan masing – masing respon pada kartu indeks, memilih kartu kedalam katagori umum, mengembangkan sebuah konsensus pada label untuk masing – masing katagori dan menyiapkan ringkasan bayangan yang berisi katagori – katagori.
6. Pengembangan kuisioner dan test 2
Kuisioner kedua dikembangkan menggunakan ringkasan responden dari kuisioner 1. Fokus dari kuisioner ini adalah untuk mengidentifikasikan area yang disetujui dan yang tidak, mendiskusikan dan mengidentifikasi bagian yang diinginkan serta membantu partisipan mengetahui masing – masing posisi dan bergerak menuju pendapat yang akurat, responden diminta untuk memilih pada ringkasan bagian kuisioner 1
7. Analisa kuisioner 2
Tugas dari kelompok kerja adalah menghitung jumlah suara masing – masing bagian yang meringkas komentar yang dibuat tentang masing – masing bagian. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk menentukan jika informasi lengkap akan membantu untuk penyelesaian masalah atau paling tidak membuktikan untuk digunakan di berbagai cara.
8. Mengembangkan kuisioner dan test 3
Kuisioner 3 didesain untuk mendorong masukan proses Delphi
9. Analisis kuisioner 3
Analisa tahap ini mengikuti prosedur yang sama pada analisis kuisioner 2
10. Menyiapkan laporan akhir
KELEBIHAN Dan KEKURANGAN
Teknik evaluasi Delphi merupakan salah satu alat dari teknik evaluasi yang digunakan dalam teknik evaluasi dengan pendekatan keputusan teoritis. Sedangkan teori keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode diskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung-jawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis keputusan di satu sisi, dan evaluasi semu dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan dan target dari para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai, karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target di mana kinerja nantinya akan di ukur.
Teori Delphi ini sangat baik untuk memecahkan masalah yang bersifat general, dimana rencana kebijakan tersebut berkaitan erat dengan ahli-ahli bidang tertentu. Karena dari setiap ahli pada bidang tertentu akan dapat mengeluarkan aspirasinya yang memiliki kemampuan dari segi yang didalaminya. Selain itu, metode ini tidak memperhatikan nama dari ahli untuk mencegah pengaruh besar satu anggota terhadap anggota yang lainnya, dan Masing – masing responden memiliki waktu yang cukup untuk mempertimbangkan masing – masing bagian dan jika perlu melihat informasi yang diperlukan untuk mengisi kuisioner sehingga dapat menghindari tekanan social psikologi.
Namun, teori ini juga mempunyai beberapa kekurangan yang juga harus diperhatikan yaitu waktu yang akan dihabiskan dalam mengisi kuisioner akan cukup lama, karena metode ini menggunakan pendapat para ahli yang berbeda-beda aspek maka dikhawatirkan akan merepresentasikan opini yang tidak dapat dipertahankan secara ilmiah dan cenderung berpikir hanya dari aspek yang terbaik baginya.


Selasa, 10 Januari 2012

PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DALAM RANGKA PENCAPAIAN PEMBANGUNAN MILLENIUM (MDGs)


Sebagaimana diketahui, setiap aktivitas di perkotaan pasti menghasilkan buangan yang dapat berbentuk padat, cair, atau gas. Di dalam pembahasan ini hanya akan dibahas buangan yang berbentuk padat, yang lazim disebut sampah. Sampah didefinisikan sebagai buangan manusia atau hewan yang bersifat padat atau semi padat, yang tidak memiliki nilai guna atau nilai ekonomi, sehingga perlu dibuang (Tchobanoglous, Theisen, dan Vigil, 1993). Undang-undang Republik Indonesia (UURI) No. 18 tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan manusia sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Timbulan sampah terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Ironisnya, fasilitas pengelolaan sampah di hampir semua kota di Indonesia masih terbatas. Mengiringi diundangkannya UURI No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, pola  lama pengelolaan sampah di Indonesia yang berupa pengumpulan-pengangkutan-pembuangan (P3) mulai bergeser ke pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu (P4). Pergeseran paradigma pola pengelolaan sampah tersebut berlangsung dengan cukup signifikan di beberapa kota metropolitan, seperti Surabaya dan Jakarta, di mana terdapat peran aktif dari Dinas Kebersihan, yang mendapat dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), praktisi, serta program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan industri yang bernuansa penyelamatan lingkungan.
Data survey yang diungkapkan oleh JICA (2008) menunjukkan pengelolaan sampah di Pulau Jawa baru mampu melayani 59% dari total jumlah penduduk. Dilaporkan pula, tingkat pelayanan pengelolaan sampah pada tingkat nasional hanya mencapai 56%. Padmi (2006) menyatakan sampah yang tidak terkelola oleh Pemerintah ditangani oleh penduduk dengan cara dibakar (35%), dikubur (7.5%), dikompos (1.6%), atau dengan cara lainnya (15.9%). Kondisi tersebut masih terjadi sekarang, termasuk di kota Surabaya.
 Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia telah mengakibatkan terbentuknya sampah kota yang lebih beragam. Khususnya limbah jenis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) meningkat dua kali lipat dalam satu dekade. Timbulan limbah B3 pada tahun 1990 di Indonesia adalah 4.3 juta ton. Jumlah ini meningkat menjadi  8.8 juta ton pada tahun 1998. Diperkirakan lebih dari 75% limbah B3 berasal dari industri manufaktur, 5-10% dari rumah tangga, dan sisanya dari sumber-sumber lain. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya gangguan lingkungan, yang belum terpantau dengan baik. Dikhawatirkan beban pencemaran oleh limbah B3 akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2010, terutama dari jenis limbah logam berat dan toksikan organik non-biodegradable yang dapat terbioakumulasi di lingkungan hidup (Anonymous, 1997).
Fokus artikel ini adalah kontribusi pengelolaan sampah kota di Indonesia dan paradigma-paradigma yang berkembang terhadap MDGs. Selanjutnya, akan direkomendasikan strategi yang perlu diterapkan dalam penanganan sampah kota guna menunjang tercapainya MDGs di Indonesia.
Timbulan dan Komposisi Sampah Kota
Acuan mengenai timbulan sampah kota di Indonesia adalah SNI S-04-1993-03 yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (SNI). Dalam SNI, ditetapkan bahwa timbulan sampah di kota sedang adalah 0,7-0,8 kg/orang.hari, sedangkan di kota kecil sebesar 0,5-0,6 kg/orang.hari. Besaran timbulan sampah ini berada pada kisaran timbulan sampah antara negara berpenghasilan rendah (0,5 kg/orang.hari) dan menengah (0,9 kg/orang.hari) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Komposisi sampah menjadi semakin kompleks dari waktu ke waktu. Komponen sampah basah semakin berkurang, sedangkan kandungan komponen kering, khususnya sisa kemasan,  menjadi semakin meningkat. Pada Tabel dapat dilihat data perubahan komposisi sampah permukiman di Surabaya sejak tahun 1988 hingga 2010. Tampak terjadinya penurunan persentasi sampah basah yang cukup signifikan serta peningkatan jumlah sampah plastik sebanyak dua kali lipat selama dua dekade. Tabel tersebut juga menunjukkan persentase komponen sampah kertas, logam, dan kaca/gelas yang relatif tetap. Ditinjau dari komposisinya, sampah kota di Indonesia masih didominasi oleh sampah basah. Kondisi tersebut mirip dengan komposisi sampah di negara-negara berpenghasilan rendah, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel  Komposisi sampah Kota Surabaya


No.

Komponen sampah
Persen berat (%)
1988*
2006**
2010***
1.
Sampah basah
77.3
72.4
68.5
2.
Kertas
6.2
7.3
6.1
3.
Plastik
5.6
10.1
12.4
4.
Kayu
4.6
2.4
2.3
5.
Logam
1.0
1.4
1.0
6.
Kaca/gelas
0.4
1.7
1.4
7.
Karet/kulit
0.8
0.5
0.5
8.
Kain
2.2
2.7
4.0
9.
Lain-lain
4.6
1.5
3.8
Jumlah
100
100
100

Sumber:  *Trihadiningrum, 1988;  **Trihadiningrum, 2006; ***Anonim, 2010

Pada masa sekarang, bahan plastik dipandang sebagai bagian penting dalam hidup manusia, karena sifatnya yang kuat, ringan, murah, mudah diolah, dan hemat energi. Dengan sifat tersebut, plastik semakin banyak digunakan sebagai bahan pengemas. Pada saat ini, 40% produk plastik dunia digunakan untuk bahan pengemas. Sebagai akibatnya, jutaan ton plastik dibuang sebagai sampah setiap harinya. Data di negara maju menunjukkan setiap orang membuang 398 kg sampah plastik setiap tahunnya (Majid, 2007), 33 kali lebih besar dari jumlah sampah plastik yang dihasilkan oleh setiap orang di Surabaya.
Meskipun jumlah sampah plastik hanya meliputi 12% saja dari sampah kota, akibat berat jenisnya yang rendah, volumenya membutuhkan ruang sebesar 25-35% lebih banyak dari volume total sampah. Akibatnya, apabila komponen sampah plastik terus meningkat jumlahnya, kebutuhan akan lahan TPA akan lebih meningkat pula. Hasil analisis komposisi deposit sampah pada sembilan lokasi sampling di TPA Keputih, yang telah dihentikan operasinya pada tahun 2001, menunjukkan kandungan plastik yang cukup tinggi, yaitu antara 14,3 – 33,5%, dengan rata-rata 23,5% (Trihadiningrum dkk, 2005).

Laju timbulan 0,8 kg/orang.hari
 
(d)
Gambar 1. Perbandingan timbulan dan komposisi sampah kota di:
(a) negara industri; (b) negara bepenghasilan menengah; (c) negara berpenghasilan rendah
(d) Indonesia. (Sumber: Nair, 1993; SNI S-04-1993-03; dan Trihadiningrum, 2006)


Nilai Ekonomi Sampah dan Pengentasan Kemiskinan
Target MDGs pertama, yaitu pengentasan kemiskinan, didukung oleh terdapatnya nilai ekonomi pada sampah. Di Indonesia, aktivitas sektor informal dalam bisnis sampah telah menyatu dengan kegiatan ekonomi lain di hampir semua kota. Dengan menggunakan harga komponen sampah kering yang dapat didaur ulang yang berlaku di Kota Surabaya , nilai ekonomi sampah di Kota Surabaya dapat diperkirakan. Estimasi nilai jual jenis sampah kering, yang terdiri atas plastik, kertas, kaca/gelas, dan logam sebesar Rp. 337.050.000/hari, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel, menunjukkan bahwa sampah merupakan sumber daya yang tidak dapat diabaikan perannya dalam ekonomi kota.
Nilai ekonomi sampah dapat ditingkatkan menjadi hampir dua kali lipat apabila warga Kota Surabaya telah mampu mendaur ulang seluruh sampah basah menjadi kompos. Kompos dapat dihasilkan setiap harinya dari 1251,4 ton sampah basah. Dari jumlah tersebut diperkirakan dapat dihasilkan sekitar 30% kompos atau 375,4 ton/hari. Dengan menggunakan asumsi pendapatan minimum dari penjualan kompos Rp. 750/kg, dapat dihasilkan gross revenue sebesar Rp. 281.550.000/hari.

Harga komponen sampah yang dapat didaur-ulang di wilayah Keputih, Surabaya, tahun 2006 (*Anonim, 2010; Trihadiningrum dan Mardhiani, 2006)

No.
Jenis barang
Harga (Rp/kg)

No.
Jenis barang
Harga (Rp/kg)
1.
Kertas koran
1400*

11.
Plastik Pralon
500
2.
Kardus
1000*

12.
Plastik campuran (rafia, sedotan, dll)
400
3.
Kertas HVS
2000*

13.
Bak plastic
1300
4.
Kertas duplek dll
200

14.
Botol kaca kecil
150
5.
Gelas air mineral  bersih
Gelas air mineral kotor
6000*

3000*

15.
Botol kaca besar (kecap, sirup)
500
6.
Plastik HD
500*

16.
Botol kaca besar (bir)
500
7.
Plastik PP (bening)
1000

17.
Besi kualitas rendah
700
8.
Plastik PP berwarna (a.l. kemasan deterjen)
500

18.
Besi kualitas baik
1500
9.
Plastik HD
450

19.
Aluminium (kaleng softdrink)
11000*
10.
Plastik PE
1000

20.
Karet
800


Estimasi nilai jual komponen sampah di Kota Surabaya.

Komponen sampah
Kuantitas (ton/hari)
Harga rata-rata (Rp/kg)
Potensi nilai jual (Rp/hari)
Sampah kering



- Plastik
109,0
1500
163.500.000
- Kertas
62,7
1000
62.700.000
- Gelas/kaca
25,7
500
12.850.000
- Logam
24,5
4000
98.000.000
Jumlah
221,9

337.050.000
Produk kompos (potensial)
375,4
750
281.550.000
Total


618.600.000

Penjelasan di atas menunjang kenyataan bahwa keberadaan sampah kota dapat menopang hidup sebagian warga kota, khususnya yang bergerak di sektor informal. Dalam kaitannya dengan tujuan pertama dari MDGs, potensi bisnis sampah kota berperan cukup penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, belum ada data yang pasti mengenai jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor bisnis sampah. Apabila diperhitungkan terhadap nilai upah minimum sebesar Rp. 850.000/bulan, dan 40% dari pendapatan total digunakan untuk biaya modal, operasional, dan keuntungan, nilai ekonomi sampah kering sebesar Rp. 337.050.000/hari, atau Rp 10,1milyar/bulan, dapat menopang 7000 tenaga kerja. Apabila sampah basah diolah menjadi kompos, dapat diperoleh revenue total sebesar Rp. 618.600.000/hari atau Rp. 18,6 milyar/bulan. Nilai revenue ini mampu menghidupi 13.000 orang.
Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh LSM dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kota Surabaya untuk mengurangi sampahnya:
  1. Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Mind-set masyarakat ternyata lebih mudah berubah apabila melihat langsung keberhasilan sebuah program baru, melalui percontohan. Hal inilah yang ditempuh LSM yang pada awalnya banyak mengalami kesulitan dalam memperkenalkan teknologi pengolahan sampah kepada masyarakat.
  2. Pembentukan kader lingkungan. Kader lingkungan diadakan dan dididik melalui program pelatihan yang diadakan DKP dan mitranya. Jumlah kader yang sudah ada pada saat ini mencapai 5000-an orang. Tim Penggerak PKK Kota Surabaya, bekerjasama dengan DKP secara rutin setiap minggu sekali menyelenggarakan kegiatan penyuluhan bagi warga kota di daerah Kebun Bibit. Produk yang diharapkan adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.
  3. Pendampingan warga. Kader lingkungan bertugas pula untuk pendampingan warga dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap kader melakukan pendampingan terhadap warga dari satu dasawisma atau 1 RT.
  4. Pengadaan prasarana kebersihan. DKP bersama LSM melakukan pembagian komposter rumah tangga (KRT), keranjang Takakura, pengadaan gerobak sampah dan pembangunan rumah kompos. Pemberian fasilitas tersebut memperoleh support dari DKP dan sumber lain, seperti Dinas Pendidikan Nasional, PLN, dan sebagainya.
  5. Pemantauan. Kegiatan pemantauan pada umumnya dilakukan oleh para kader. Pemantauan dilakukan melalui kunjungan langsung, atau melalui telepon. Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi organisasi pemberdaya masyarakat, Lurah dan DKP untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di sumber.
  6. Diseminasi kegiatan. Masyarakat melakukan diseminasi kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah, baik secara aktif maupun pasif:
·         Diseminasi aktif: Masyarakat bersama kader lingkungan secara aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat luar. Hal ini menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran, sekaligus mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup, menjadi terbuka bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori diseminasi aktif adalah pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan, dengan cara mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.
·         Diseminasi pasif. Kegiatan yang dilakukan di daerah binaan secara tidak langsung menjadi sumber inspirasi, motivasi dan semangat bagi orang-orang yang berkunjung untuk melaksanakan kegiatan yang sama di tempat tinggalnya.

PENUTUP

Penanganan sampah kota merupakan salah satu bagian penting dari proses pembangunan berkelanjutan yang memiliki target untuk memenuhi kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kerangka itu, perkembangan paradigma dalam penanganan sampah kota telah ikut menunjang hampir semua target MDGs, sehubungan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, pemberdayaan peran gender, penurunan tingkat kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, lebih terkendalinya perkembangan penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan
Sampah kota  merupakan potensi sumber daya yang dapat menunjang perekonomian kota apabila dikelola dengan baik, tetapi dapat menjadi bencana apabila tidak dikelola secara layak. Hal-hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan pelayanan pengelolaan sampah kota adalah:
-          Berorientasi pada upaya pencegahan pembentukan sampah dan minimisasi timbulan sampah melalui kegiatan 3R dengan melibatkan masyarakat
-          Memasukkan materi tentang pencemaran dan pendekatan sanitasi lingkungan yang komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga menengah
-          Diperlukan peran pemerintah dalam hal penetapan kebijakan yang mendukung sosialisasi penggunaan produk daur ulang sampah yang dapat membantu peningkatan produksi dan distribusi hasil daur ulang sampah
-          Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai karakteristik produk-produk pangan maupun non pangan yang digunakan, serta cara menangani sampah pasca pemakaian. Hal ini bertujuan selain untuk meningkatkan pemahaman tentang potensi dan cara daur ulang, juga untuk mengetahui sejak dini kemungkinan terdapatnya komponen B3 dalam sampah yang dihasilkan.
-          Pola penanganan sampah P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu, sudah saatnya untuk mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini diperlukan guna menekan pencemaran lingkungan oleh komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan